Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki darjat/level yang tinggi.
"(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS. 5: 54).
Dalam tasawuf, setelah diraihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain-lain nantinya akan berakhir pada mahabatullah (cinta kepada Allah).
Menurut Sang Hujjatul Islam ini perkataan mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandungi erti biji atau inti. Sebahagian sufi mengatakan bahawa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeza dalam menjalankan syariat kerana mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang mampu menyatukan perbezaan-perbezaan itu.
Bayazid Bustami sering mengatakan: "Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang diperoleh kekasih, meskipun itu sedikit." Kata-kata arif dari sufi pencetus doktrin fana' ini dapat kita artikan bahwa ciri-ciri seorang yang mencintai Allah pertama adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang sama dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mahu berhenti berdakwah. Dengan semangat cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pakciknya: "Wahai pakcikku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa". Ciri kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang diberikan Allah. Bahkan ia akan selalu reda terhadap Allah walaupun cubaan berat menimpanya.
Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung..
Menurut Sang Hujjatul Islam ini perkataan mahabbah berasal dari kata hubb yang sebenarnya mempunyai asal kata habb yang mengandungi erti biji atau inti. Sebahagian sufi mengatakan bahawa hubb adalah awal sekaligus akhir dari sebuah perjalanan keberagamaan kita. Kadang kadang kita berbeza dalam menjalankan syariat kerana mazhab/aliran. Cinta kepada Allah -yang merupakan inti ajaran tasawuf- adalah kekuatan yang mampu menyatukan perbezaan-perbezaan itu.
Bayazid Bustami sering mengatakan: "Cinta adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada Kekasih (Allah) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang diperoleh kekasih, meskipun itu sedikit." Kata-kata arif dari sufi pencetus doktrin fana' ini dapat kita artikan bahwa ciri-ciri seorang yang mencintai Allah pertama adalah rela berkorban sebesar apapun demi kekasih. Cinta memang sama dengan pengorbanan, bahkan dengan mengorbankan jiwa dan raga sekalipun. Hal ini sudah di buktikan oleh Nabi Muhammad Saw., waktu ditawari kedudukan mulia oleh pemuka Quraisy asalkan mahu berhenti berdakwah. Dengan semangat cintanya yang menyala-nyala pada Allah Swt., Rasulullah mengatakan kepada pakciknya: "Wahai pakcikku, demi Allah seandainya matahari mereka letakkan di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku berhenti meninggalkan tugasku ini, maka aku tidak mungkin meninggalkannya sampai agama Allah menang atau aku yang binasa". Ciri kedua dari pecinta adalah selalu bersyukur dan menerima terhadap apa- apa yang diberikan Allah. Bahkan ia akan selalu reda terhadap Allah walaupun cubaan berat menimpanya.
Jiwa para pecinta rindu untuk berjumpa dan memandang wajah Allah yang Maha Agung..
"Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka "'(QS. 2: 46).
Tentang kerinduan para pecinta terhadap Allah Swt., sufi besar Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam matsnawi sebagai kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari "alastu" sebagai kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta. Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu sekali kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halamannya sendiri, yang merupakan asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat Allah Swt. dan itu merupakan cita-cita hidupnya. Menurut Al-Ghazali makhluk yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat kecintaannya kepada Allah Swt.
Menurutnya, ar-ru'yah (melihat Allah).merupakan puncak kebaikan dan kesenangan. Bahkan kenikmatan surga tidak ada ertinya dengan kenikmatan kenikmatan perjumpaan dengan Allah Swt. Meminta surga tanpa mengharap perjumpaan dengan-Nya merupakan tindakan "bodoh" dalam terminologi sufi dan mukmin pecinta.
"Solat adalah mi'rajnya orang beriman" begitulah bunyi sabda Nabi Saw. untuk menisbatkan kualiti solat bagi para pecinta. Solat merupakan puncak pengalaman rohani di mana roh para pecinta akan naik ke sidratul muntaha, tempat tertinggi di mana Rasulullah di undang langsung untuk bertemu dengan-Nya. Seorang Aqwiya (orang-orang yang kuat kecintaannya pada Tuhan) akan menjalankan solat sebagai medium untuk melepaskan rindu mereka kepada Rabbnya, sehingga mereka senang sekali menjalankannya dan menanti-nanti saat solat untuk waktu berikutnya, bukannya sebagai tugas atau kewajiban yang sifatnya memaksa.
Ali bin Abi Thalib ra pernah berkata: "Ada hamba yang beribadah kepada Allah kerana ingin mendapatkan imbalan, itu ibadahnya kaum pedagang. Ada hamba yang beribadah kerana takut siksaan, itu ibadahnya budak, dan ada sekelompok hamba yang beribadah kerana cinta kepada Allah Swt, itulah ibadahnya orang mukmin". Seorang pecinta akan berhias wangi dan rapi dalam solatnya, melebihi saat pertemuan dengan orang yang paling ia sukai sekalipun. Bahkan mereka kerap kali menangis dalam solatnya. Kucuran air mata para pecinta itu merupakan bentuk ungkapan kerinduan dan kebahagiaan saat berjumpa dengan-Nya dalam solatnya.
Mencintai Allah Swt. mampu dipelajari lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat yang sama, pemahaman dan kecintaan kepada Allah ini kita manifestasikan ke bentuk yang lebih nyata dengan amal soleh dan akhlakul karimah yang berorientasi dalam segenap aspek kehidupan.
Mencintai Allah Swt. mampu dipelajari lewat tanda-tanda-Nya yang tersebar di seluruh ufuk alam semesta. Pada saat yang sama, pemahaman dan kecintaan kepada Allah ini kita manifestasikan ke bentuk yang lebih nyata dengan amal soleh dan akhlakul karimah yang berorientasi dalam segenap aspek kehidupan.