21.11.08

Cinta yang Tulus ialah keimanan yang sejati

0 comments

Cinta hamba kepada Allah merupakan hal yang bisa mengangkatnya ke maqam dan darjat yang tinggi, sempurna, dan suci. Kedudukan yang tinggi ini menuntut seorang hamba untuk berkorban demi kekasihnya, sebagaimana yang berlaku pada setiap orang yang bercinta. Seorang pecinta harus rela mencintai objek cintanya dengan sepenuh hati dan fikiran. Ia harus sanggup berkorban demi yang dicintai dengan penuh suka cita. Ia juga harus berlapang dada dan rela atas segala yang kurang berkenan dirasakan daripada kekasihnya, juga harus sabar atas segala ujian yang menimpanya kerana cinta itu.

Mengapa demikian, kerana cinta, sebagaimana yang lazimnya terjalin antara sesama manusia, merupakan sebuah jalinan di luar pengetahuan. Ia merupakan kecenderungan dan emosi yang berada di atas kehendak dan keinginan.

Setiap diri kita mampu saja mengenal dan tidak ada masalah dengan seseorang itu atau mengetahui dan senang dengan suatu benda, akan tetapi itu saja tidak cukup untuk mentafsirkan perasaan kita itu sebagai cinta. Perasaan cinta lebih dalam pengaruhnya daripada itu. Ia lebih mendalam dan meruntun jiwa. Bahkan cinta sejati adalah yang tidak memberikan ruang kosong dalam hati., tidak memberi jalan sedikitpun dalam jiwa bagi yang lain selain kekasih.

Jika telah sampai pada tingkat demikian, maka cinta kepada Allah itulah keimanan yang hakiki. Keimanan yang hakiki bukanlah sekadar pengetahuan dan ketundukan jiwa. Dengan kata lain, iman yang sebenar adalah imannya seorang pencinta yang berghairah kepada Allah, yang bahkan mampu memabukkan dan melupakan diri sendiri. Cinta; pengaruhnya dapat dilihat pada seluruh kata-kata, tindakan dan sikap.

Seorang mukmin yang hakiki adalah orang yang memahami keindahan dan keagungan Allah, mengetahui kasih sayang dan kebaikan Allah. Di samping itu, ia meyakini sepenuhnya bahawa Allahlah satu-satunya pemberi nikmat dan anugerah. Tiada nikmat kecuali Dialah sumbernya, tiada anugerah kecuali dari-Nya. Dengan kesedaran rohani seperti inilah ia mencintai-Nya. Hatinya sibuk memikirkan-Nya. Seluruh aktivitinya ditujukan kepada-Nya semata. Kelazatan yang ia rasakan hanya ada dalam ketaatan kepada segala perintah-Nya. Ia memiliki kesempatan untuk menunaikan tugas dari-Nya, dengan senang dan bahagia, damai hatinya dan tegap langkahnya. Jika seorang kekasih yang dicintai berbuat baik kepadanya, diterimanya kebaikan itu dengan rasa syukur, baik dengan lisan, hati maupun perbuatan. Jika ia mendapati kesulitan dalam perjuangan mencapai reda-Nya, ia istiqamah, berlapang dada, dan sabar tanpa keluh kesah dan perasaan kecewa. Itulah pecinta yang sebenar, tulus dan sejati.. Cintailah Allah SWT.

3.11.08

Cinta pada pandangan Islam

1 comments

Cinta dalam pandangan Islam adalah suatu hal yang sakral. Islam adalah agama fitrah, sedang cinta itu sendiri adalah fitrah kemanusiaan. Allah telah menanamkan perasaan cinta yang tumbuh di hati manusia. Islam tidak pula melarang seseorang untuk dicintai dan mencintai, bahkan Rasulullah menganjurkan agar cinta tersebut diutarakan.

Apabila seseorang mencintai saudaranya maka hendaklah ia memberitahu bahwa ia mencintainya. (HR Abu Daud dan At-Tirmidzy). Seorang muslim dan muslimah tidak dilarang untuk saling mencintai, bahkan dianjurkan agar mendapat keutamaan-keutamaan. Islam tidak membelenggu cinta, karena itu Islam menyediakan penyaluran untuk itu (misalnya lembaga pernikahan) dimana sepasang manusia diberikan kebebasan untuk bercinta.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang, (Ar-Ruum: 21)

Ayat di atas merupakan jaminan bahwa cinta dan kasih sayang akan Allah tumbuhkan dalam hati pasangan yang bersatu karena Allah (setelah menikah). Jadi tak perlu menunggu jatuh cinta dulu baru berani menikah, atau pacaran dulu baru menikah sehingga yang menyatukan adalah si syetan durjana (naudzubillahi min zalik). Jadi Islam jelas memberikan batasan-batasan, sehingga nantinya tidak timbul fenomena kerusakan pergaulan di masyarakat.
Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta, siapa yang harus didahulukan/ diutamakan dan siapa/apa yang harus diakhirkan. Tidak boleh kita menyetarakan semuanya.

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…”(Al-Baqarah: 165)

Menurut Syaikh Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7, ada enam peringkat cinta (maratibul-mahabah), yaitu:
1. Peringkat ke-1 dan yang paling tinggi/paling agung adalah tatayyum, yang merupakan hak Allah semata.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Rabbul alamiin. Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (S.2: 165) Jadi ungkapan-ungkapan seperti: Kau selalu di hatiku, bersemi di dalam qalbu atau Kusebutkan namamu di setiap detak jantungku, Cintaku hanya untukmu, dll selayaknya ditujukan kepada Allah. Karena Dialah yang memberikan kita segala nikmat/kebaikan sejak kita dilahirkan, bahkan sejak dalam rahim ibu.
Jangan terbalik, baru dikasih secuil cinta dan kenikmatan sama si doi kita sudah mau menyerahkan jiwa raga kepadanya yang merupakan hak Allah. Lupa kepada Pemberi Nikmat, Maka nikmat apa saja yang ada pada kalian, maka itu semua dari Allah (S. 2: 165).
2. Peringkat ke-2; isyk yang hanya merupakan hak Rasulullah saw.
Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanya, ingin mengikutinya, mencontohnya, dll, namun bukan untuk menghambakan diri kepadanya. Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
3. Peringkat ke-3; syauq yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnya.
Antara suami istri, anatar orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah.
4. Peringkat ke-4; shababah yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah Islamiyah.
5. Peringkat ke-5; ‘ithf (simpati) yang ditujukan kepada sesama manusia. Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, berdakwah, dll.
6. Peringkat ke-6 adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu cinta/keinginan kepada selain manusia: harta benda. Namun keinginan ini sebatas intifa’ (pendayagunaan/pemanfaatan)

 

Mahabahtullah | Copyright 2009 - Modified by Amin Rox